Selamat datang di Blog Dunia Pendidikan dan Kelas Ekonomi (Jangan Lupa Ikuti Yaa)..







Minggu, 15 Oktober 2023

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 1.4. BUDAYA POSITIF OLEH ALVIN WIDYARTO (FASILITATOR/CGP REKOGNISI ANGKATAN 9)


Pada kesempatan kali ini ijinkan saya mengambil benang merah atau hubungan keterkaitan yang saya peroleh ketika mengeksplorasi Modul 1.4. Budaya Positif di dalam Pendidikan Guru Penggerak.



Di dalam modul 1.4. Budaya Positif ini pada alur Mulai dari Diri kita diajak untuk merefleksikan mengenai lingkungan positif dan disiplin positif yang telah dilaksanakan selama ini di sekolah. melalui berbagai pertanyaan yang ada di LMS. Selanjutnya di dalam alur Eksplorasi Konsep kita mempelajari mengenai banyak materi yang sangat bermanfat yaitu :

  • Disiplin positif dan nilai kebajikan universal
  • Teori motivasi, hukuman dan Penghargaan Restitusi
  • Keyakinan kelas
  • Kebutuhan dasar manusia dan dunia berkualitas
  • Restitusi (lima posisi kontrol)
  • Restitusi (Segitiga restitusi)



Dalam budaya kita, sering memaknai disiplin dengan sesuatu yang dilakukan demi untuk sebuah kepatuhan, sehingga kadang kata disipliln menjadi sebuah kata yang tidak nyaman Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa :

“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks Pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat, yaitu disiplin diri yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak bisa mendisiplinkan diri sendiri, maka kita butuh orang lain atau pihak luar untuk menjadi motivasi eksternal. Dengan kata lain, mereka yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Sebagaimana yang disampaikan Ki Hajar Dewantara :

“…pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu menjadi sisihannya hak atau kewajiban dari seseorang yang pegang kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun artinya tidak lain ialah orang tadi harus mempertanggungjawabkan dirinya serta tertibnya laku diri dari segala hak dan kewajibannya.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 469).


Sebagai pendidik tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri dan memiliki motivasi intrinsic, bukan ekstrinsik.

Pada modul 1.4 kita juga mempelajari nilai-nilai kebajikan universal yang juga telah diperkenalkan di modul 1.2 yang berarti nilai-nilai kebajikan yang disepakati bersama, lepas dari suku bangsa, agama, bahasa maupun latar belakangnya. Nilai-nilai ini merupakan ‘payung besar’ dari sikap dan perilaku kita, atau nilai-nilai ini merupakan fondasi kita berperilaku. Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan, dan selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan. Nilai-nilai kebajikan itu sebagaimana yang kita kenal dengan profil pelajar Pancasila, yaitu Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia, Mandiri, Bernalar Kritis, Berkebinekaan Global, Bergotong royong, dan Kreatif. Diharapkan nilai-nilai kebajikan inilah yang akan menjadi nilai-nilai karakter para murid kita.

Visi guru penggerak yang berpihak pada murid tentunya menjadi sebuah visi untuk setiap guru menjadi pribadi yang tergerak, bergerak, dan menggerakkan sesama guru agar menjadi agen perubahan paradigma pembelajaran baru yaitu pembelajaran yang berpihak pada murid. Bergerak untuk memperkenalkan budaya positif yang membawa murid kepada perubahan positif.

Pada modul ini saya juga belajar tentang 3 motivasi seseorang dalam disiplin ;Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Motivasi ini bersifat eksternal.
Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Motivasi ini juga bersifat eksternal.
Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.

Orang dengan motivasi inilah yang kita harapkan. Mereka akan melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai. Motivasi ini merupakan motivasi intrinsic.

hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.

Modul ini juga membelajarkan saya untuk mengetahui perbedaan hukuman, konsekuensi dan segitiga restitusi. Perbedaan tersebut adalah bahwa disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran. Pada konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek. Konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan suatu data yang umumnya dapat diukur, misalnya, setelah 3 kali tugasnya tidak diselesaikan pada batas waktu yang diberikan, atau murid melakukan kegiatan di luar kegiatan pembelajaran, misalnya mengobrol, maka murid tersebut akan kehilangan waktu bermain, dan harus menyelesaikan tugas karena ketertinggalannya. Peraturan dan konsekuensi yang mengikuti ini sudah diketahui sebelumnya oleh murid. Sikap guru di sini senantiasa memonitor murid.






Segitiga restitusi mengajak kita untuk melakukan penanganan kasus/pelanggaran dengan 3 langkah yaitu :Menstabilkan identitas

Mengubah paradigma bahwa murid itu gagal, dan menggantikannya dengan paradigma bahwa murid akan menjadi orang yang suksesValidasi Tindakan

Melakukan validasi tentang apa yang sudah dilakukan dan ke depannya memvalidasi alasan apa dia melakukan hal tersebut atau apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan kebaikanyang diinginkan.Menanyakan keyakinan kelas

Selanjutnya menanyakan keyakinan kelas yang sudah disepakati. Apakah keyakinan kelas yg sudah dibuat sebelumnya.

Ketiga Langkah segitiga restitusi ini menjadi sebuah budaya positif untuk kita lakukan. Langkah restitusi ini dinilai cukup efektif untuk membangun disiplin positif di sekolah dengan murid dikarenakan adanya komunikasi dan hubungan yang baik dua arah antara guru dan murid sehingga tujuan akhirnya adalah murid memiliki karakter yang lebih kuat ketika kembali ke kelompoknya di lingkunganya.

Untuk menjadikan kebiasaan postif di kelas menjadikan budaya positif sekolah dan visi sekolah tentunya dibutuhkan pemikiran dan kesepakatan kolektif yang digali dari dasar normatif, nilai yang diyakini oleh warga sekolah. Masing-masing guru dapat menyampaikan ide praktik baiknya di sekolah. Dari itu kita dapat menggali nilai-nilai budaya positif sekolah untuk kemudian dituangkan secara tertulis menjadi visi sekolah.

Dalam mencapai visi sekolah kita dapat mewujudkan budaya positif peran guru di kelas adalah membuat kesepakatan kelas bersama murid. Dalam hal membuat kesepakatan kelas, guru senantiasa menegaskan budaya positif yang disepakati dan menjauhkan hukuman ataupun pemberian hadiah sebagai bujukan untuk pembiasaan budaya positif. Hasil kesepakatan kelas dapat ditempel di sudut ruangan agar dapat dilihat oleh seluruh murid. Jika budaya positif telah menjadi pembiasaan bagi seluruh warga sekolah, niscaya visi sekolah tercapai dan semua warga sekolah nyaman dan dipenuhi cinta kasih di sekolah.

Pengikut